ads

Hukum-Hukum Haid Dalam Shalat Dan Thawaf, Syaikh Muhammad bin Shaleh Al UtsaiminBagian Pertama dari Tiga Tulisan (1/3)

Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin
Bagian Pertama dari Tiga Tulisan (1/3)

Terdapat banyak hukum haid, ada lebih dari dua puluh hukum. Dan kami sebutkan di sini hukum-hukum yg kami anggap banyak diperlukan, antara lain.

. Shalat

Diharamkan bagi wanita haid mengerjakan shalat, baik fardhu maupun sunat, & tdk sah shalatnya. Juga tdk wajib baginya mengerjakan shalat, kecuali jika ia mendapatkan sebagian dari waktunya sebanyak satu raka'at sempurna, baik pd awal / akhir waktunya. Contoh pd awal waktu: Seorang wanita haid setelah matahari terbenam tetapi ia sempat mendapatkan sebanyak saru ra'kaat dari waktunya. Maka wajib baginya, setelah suci, mengqadha' shalat maghrib tersebut karena ia telah mendapatkan sebagian dari waktunya yg cukup utk satu rakaat sebelum kedatangan haid.

Adapaun contoh pd akhir waktu, seorang wanita suci dari haid sebelum matahari terbit & masih sempat mendapatkan satu rakaat dari waktunya. Maka wajib baginya, setelah bersuci, mengqadha' shalat Shubuh tersebut karena ia masih sempat mendapatkan sebagian dari waktunya yg cukup utk satu rakaat.

Namun, jika wanita yg haid mendapatkan sebagian dari waktu shalat yg tdk cukup utk satu rakaat sempurna; seperti: Kedatangan haid -pada contoh pertama- sesaat setelah matahari terbenam, / suci dari haid -pada contoh kedua- sesaat sebelum matahari terbit, maka shalat tersebut tdk wajib baginya. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya: Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat, maka dia telah mendapatkan shalat" (Hadits Muttafaq 'alaihi).

Pengertiannya, siapa yg mendapatkan kurang dari satu rakaat dari waktu Ashar, apakah wajib baginya mengerjakan shalat Zhuhur bersama Ashar, / mendapatkan satu rakaat dari waktu Isya' apakah wajib baginya mengerjakan shalat Maghrib bersama Isya' . ?

Terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama dalam masalah ini. Dan yg benar, bahwa tdk wajib baginya kecuali shalat yg didapatkan sebagian waktu saja, yaitu shalat Ashar & Isya'. Karena sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya: Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka dia telah mendapatkan shalat Ashar itu". (Hadits Muttafaq 'alaihi).

Nabi tdk menyatakan "maka ia telah mendapatkan shalat Zhuhur & Ashar", juga tdk menyebutkan kewajiban shalat Zhuhur baginya. Dan menurut kaidah, seseorang itu pd prinsipnya bebas dari tanggungan. Inilah madzhab Imam Abu Hanifah & Imam Malik, sebagaimana disebutkan dalam kitab Syarh Al-Muhadzdzab Juz 3, hal. 70.

Adapun membaca dzikir, takbir, tasbih, tahmid & bismillah ketika hendak makan / pekerjaan lainnya, membaca hadits, fiqh, do'a & aminnya, serta mendengarkan Al-Qur'an, maka tdk diharamkan bagi wanita haid. Hal ini berdasarkan hadits dalam Shahih Al-Bukhari-Muslim & kitab lainnya bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersandar di kamar Aisyah Radhiyallahu 'anha yg ketika itu sedang haid, lalu beliau membaca Al-Qur'an.

Diriwayatkan pula dalam Shahih Al-Bukhari-Muslim dari Ummu 'Athiyah Radhiyallahu 'anha bahwa ia mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya: Agar keluar para gadis, perawan & wanita haid -yaitu ke shalat Idul fitri & Adha- serta supaya mereka ikut menyaksikan kebaikan & do'a orang-orang yg beriman. Tetapi wanita haid menjauhi tempat shalat"

Sedangkan membaca Al-Qur'an bagi wanita haid itu sendiri, jika dg mata / dalam hati tanpa diucapkan dg lisan maka tdk apa-apa hukumnya. Misalnya, mushaf / lembaran Al-Qur'an diletakkan lalu matanya menatap ayat-ayat seraya hatinya membaca. Menurut An-Nawawi dalam kitab Syarh Al- Muhadzdzab, Juz 2, hal. 372 hal ini boleh, tanpa ada perbedaan pendapat.

Adapun jika wanita haid itu membaca Al-Qur'an dg lisan, maka banyak ulama mengharamkannya & tdk membolehkannya. Tetapi Al-Bukhari, Ibnu Jarir At-Thabari & Ibnul Munzdir membolehkannya. Juga boleh membaca ayat Al-Qur'an bagi wanita haid, menurut Malik & Asy-Syafi'i dalam pendapatnya yg terdahulu, sebagaimana disebutkan dalam kitab Fathul Baari (Juz 1, hal. 408), serta menurut Ibrahim An-Nakha'i sebagaimana diriwayatkan Al-Bukhari.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa kumpulan Ibnu Qasim mengatakan: "Pada dasarnya, tdk ada hadits yg melarang wanita haid membaca Al-Qur'an. Sedangkan pernyataan "Wanita haid & orang junub tdk boleh membaca ayat Al-Qur'an" adalah hadist dha'if menurut perkataan para ahli hadits. Seandainya wanita haid dilarang membaca Al-Qur'an, seperti halnya shalat, padahal pd zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kaum wanitapun mengalami haid, tentu hal itu termasuk yg dijelaskan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada umatnya, diketahui para istri beliau sebagai ibu-ibu kaum mu'minin, serta disampaikan para shahabat kepada orang-orang. Namun, tdk ada seorangpun yg menyampaikan bahwa ada larangan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam masalah ini. Karena itu, tdk boleh dihukumi haram selama diketahui bahwa Nabi tdk melarangnya. Jika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tdk melarangnya, padahal banyak pula wanita haid pd zaman beliau, berarti hal ini tdk haram hukumnya" (Ibid,Juz 2. hal, 191).

Setelah mengetahui perbedaan pendapat di antara para ulama, seyogyanya kita katakan, lebih utama bagi wanita haid tdk membaca Al-Qur'an secara lisan, kecuali jika diperlukan. Misalnya, seorang guru wanita yg perlu mengajarkan membaca Al-Qur'an kepada siswi-siswinya / seorang siswi yg pd waktu ujian perlu diuji dalam membaca Al-Qur'an, & lain sebagainya.
. Puasa

Diaharamkan bagi wanita haid berpuasa, baik itu puasa wajib mupun puasa sunat, & tdk sah puasa yg dilakukannya. Akan tetapi ia berkewajiban mengqadha' puasa yg wajib, berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha.

"Artinya: Ketika kami mengalami haid, diperintahkan kepada kami mengqadha' puasa & tdk diperintahkan mengqadha' shalat". (Hadits Muttafaq 'alaih)

Jika seorang wanita kedatangan haid ketika sedang berpuasa maka batallah puasanya, sekalipun hal itu terjadi saat menjelang maghrib, & wajib baginya mengqadha' puasa hari itu jika puasa wajib. Namun, jika ia merasakan tanda-tanda akan datangnya haid sebelum maghrib, tetapi baru keluar darah setelah maghrib, maka menurut pendapat yg shahih bahwa puasanya itu sempurna & tdk batal. Alasannya, darah yg masih berada di dalam rahim belum ada hukumnya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika ditanya tentang wanita yg bermimpi dalam tidur seperti mimpinya orang laki-laki, apakah wajib mandi? Beliau pun menjawab.

"Artinya: Ya, jika wanita itu melihat adanya air mani".

Dalam hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengaitkan hukum dg melihat air mani, bukan dg tanda-tanda akan keluarnya. Demikian pula masalah haid, tdk berlaku hukum-hukumnya kecuali dg melihat adanya darah keluar, bukan dg tanda-tanda akan keluarnya.

Juga jika pd saat terbitnya fajar seorang wanita masih dalam keadaan haid maka tdk sah berpuasa pd hari itu, sekalipun ia suci sesaat setelah fajar. Tetapi jika suci menjelang fajar, maka sah puasanya sekalipun ia baru mandi setelah terbit fajar. Seperti halnya orang dalam keadaan junub, jika berniat puasa ketika masih dalam keadaan junub & belum sempat mandi kecuali setelah terbit fajar, maka sah puasanya. Dasarnya, hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha, katanya.

"Artinya: Pernah suatu pagi pd bulan Ramadhan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berada dalam keadaan junub karena jima', bukan karena mimpi, lalu beliau berpuasa". (Hadits Muattafaq 'alaihi).

. Thawaf

Diharamkan bagi wanita haid melakukan thawaf di Ka'bah, baik yg wajib maupun yg sunat, & tdk sah thawafnya. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Aisyah.

"Artinya: Lakukanlah apa yg dilakukan jemaah haji, hanya saja jangan melakukan thawaf di Ka'bah sebelum kamu suci".

Adapun kewajiban lainnya, seperti sa'i antara Shafa & Marwah, wukuf di Arafah, bermalam di Muzdalifah & Mina, melempar jumrah & amalan haji serta umrah selain itu, tdk diharamkan. Atas dasar ini, jika seorang wanita melakukan thawaf dalam keadaan suci, kemudian keluar haid langsung setelah thawaf, / di tengah-tengah melakukan sa'i, maka tdk apa-apa hukumnya.

(Disalin dari buku Risalah Fid Dimaa' Ath-Thabiiyah Lin Nisaa' Penulis Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Ustaimin, dg edisi Indonesia Darah Kebiasaan Wanita, hal 26 - 31 Penerjemah Muhammad Yusuf Harun, MA, Penerbit Darul Haq Jakarta)
Penulis: Syaikh Muhammad bin Shaleh Al UtsaiminBagian Pertama dari Tiga Tulisan (1/3) & diterbitkan oleh almanhaj. or. id

reff :http://www.akhlakislam.com
0 Komentar untuk "Hukum-Hukum Haid Dalam Shalat Dan Thawaf, Syaikh Muhammad bin Shaleh Al UtsaiminBagian Pertama dari Tiga Tulisan (1/3)"

Jazakumullahu Khairan Katsiran ya Akhi wa Ukhti Ajma'in . . . . . !!!

Back To Top