ads

Pembaharuan Pesantren

PEMBAHARUAN PESANTREN DAN LUNTURNYA
TRADISI KITAB KUNING
KASUS PP. MIFTAHUL ‘ULA NGLAWAK KERTOSONO
Oleh: Muh. Zuhal Ma'ruf

Pendahuluan
Pesantren menjadi bagian dari wacana kontemporer paling tidak sejak awal delapan puluhan ketika LP3ES melakukan penelitian tentang lembaga tradisional ini. ( Mochtar, 2001 : 77 ). Banyak hal unik terjadi di pesantren , dalam hal manajemen, metodologi, materi pengajaran, tradisi hingga masih tetapnya survive di tengah modernisasi. Tak heran banyak pakar menyatakan pendapatnya tentang pesantren di antaranya Abdurrahman Wahid ( dalam Haidari, 2006 : 46 ) : “ Ada tiga elemen dasar yang mampu membentuk pondok pesantren sebagai sebuah sub kultur. Pertama, pola kepemimpinan pondok pesantren yang mandiri tidak terkooptasi oleh Negara ; kedua, kitab-kitab rujukan umum yang selalu digunakan dari berbagai abad ; dan yang ketiga, sistem nilai ( value sistem ) yang digunakan adalah bagian dari masyarakat luas.
Sementara Azyumardi Azra ( dalam Basri, 2001 : 112 ) menyatakan bahwa ada tiga fungsi pesantren tradisional. Pertama, transmisi dan transfer ilmu-ilmu Islam. Kedua, pemeliharaan tradisi Islam, dan ketiga reproduksi ulama. Sedangkan Nurcholish Madjid (dalam Basri, 2001 : 105 ) menilai bahwa secara historis pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous).
Makalah ini akan mengupas seputar tradisi Kitab Kuning yang mulai meluntur di kebanyakan pesantren akibat pembaharuan yang dilaksanakan dengan mengambil pondok pesantren Miftahul ‘Ula Nglawak Kertosono sebagai objek studi kasus.

PP. Miftahul ‘Ula dan Penegerian Madrasah
Pondok pesantren Miftahul ‘Ula Nglawak Kertosono yang didirikan oleh KH. Abdul Fattah pada 1 Januari 1940 mulanya menggunakan metode maupun kurikulum yang mengacu pada pondok pesantren Tebuireng Jombang. Hal ini dimaklumi karena KH. Abdul Fattah adalah santri KH. Hasyim Asy’ari. Dan saat itu Tebuireng memang menjadi kiblat bagi pesantren salaf. Titik penting dalam sejarah panjang PP. Miftahul ‘Ula adalah penegerian madrasah, dengan turunnya Surat Keputusan Menteri Agama No. 51 Tahun 1968 tertanggal 7 Maret 1968. Setelah sebelumnya terjadi tarik ulur yang alot keputusan penegerian itupun ditetapkan, tentunya dengan telah mempertimbangkan segala konsekwensi baik positif maupun negatifnya. Tentang alasan penegerian dan deskripsi singkat kurikulum PP. Miftahul ‘Ula Nglawak kala itu disampaikan KH. Jamaluddin Abdullah (wawancara tanggal 22 Pebruari 2008) selaku inisiator :

“ Pancen aku ndisik sing ngusulke pisanan, aku ndelok Takeran, PSM enek MIN mbuh ndisik jenenge, MTsAIN, MAAIN. Aku eruh cah kono aliyah nahwu shorof ora karo-karoan, aku mikir cah kene berarti keduwuren kanggo aliyah. Jaman semono pancen koyok Lirboyo, podo-podo ngiblat Tebuireng kan, terus aku usul nggone bapak. Pas mantene mas Taufiq Pandarum aku diseneni karo pak Badrus Purwoasri “ Pondok apik-apik kok dinegerekne “, bapak yo malih mamang. Bareng kene wis negeri, lak gak salah nomer limo sak Indonesia, terus Tambakberas pingin, Denanyar, akhire Purwoasri pisan yo pingin. Pertimbanganku yo…..supoyo pondoke ora kukut, bapak wis gerah-gerahen ae, lha ketoke pancen ora enek sing iso koyok bapak kekyainane, keluarga yo sik awut-awutan ekonomine. Pak Qodir masiyo wis ngulang ngasisteni bapak tapi umure yo sik bocah “ .
(“ Memang dahulu saya yang mengusulkan (penegerian) pertama, saya melihat Takeran, PSM ada MIN entah apa namanya dahulu, MTsAIN, MAAIN. Saya lihat anak sana (sudah) aliyah nahwu sharaf tidak karuan, saya berfikir berarti anak sini terlalu tinggi untuk aliyah. Kala itu memang seperti Lirboyo, sama-sama berkiblat ke Tebuireng kan ?, kemudian saya mengusulkan kepada bapak (KH. Abdul Fattah). Waktu menikahnya mas Taufiq (Taufiq Cholil) Pandanarum, saya dimarahi oleh pak Badrus Purwoasri “ Pondok sudah bagus kok dinegerikan “, bapak menjadi ragu. Ketika sini sudah negeri, kalau tidak salah nomer lima se Indonesia, kemudian Tambakberas ingin, Denanyar, akhirnya Purwoasri sekalian juga ingin. Pertimbangan saya ya….., supaya pondoknya tidak tutup, bapak (KH. Abdul Fattah) sudah sakit-sakitan saja, kelihatannya memang tidak ada yang bisa seperti bapak dalam hal kekyaiannya, keluarga juga masih belum tertata ekonomiya. Pak Qodir walaupun sudah mengajar menjadi asisten dari bapak tetapi umurnya juga masih muda “.)

Segi positif penegerian tentu saja banyak sekali, salah satunya adalah beragam sektor karier dan pekerjaan bisa dimasuki alumni pesantren karena telah memiliki ijazah yang sah dan memiliki efek publik. Tak heran banyak alumni PP. Miftahul ‘ula yang meniti karier sebagai PNS baik guru maupun pegawai kantor pemerintah. Sungguhpun demikian tentu saja penegerian ini juga mendatangkan sisi negatif. Abd. A’la menyatakan :

“ Masuknya pesantren dalam sistem pendidikan moderen telah melahirkan problem cukup ruwet yang berdampak langsung atau tidak atas pengabdian masyarakat yang selama ini telah dikembangkan. Penerimaan pesantren terhadap pendidikan moderen dalam bentuk sekolah telah memberikan peluang bagi ikut campurnya Negara ke dalam dunia pesantren. Dominasi Negara yang begitu kuat membuat nilai-nilai pesantren selama ini mengalami pemudaran. Pendidikan pesantren yang berorientasi nilai mengalami perubahan menjadi pendidikan Negara dengan capaian yang bersifat formalistic, akibatnya selain ketergantungan pesantren pada Negara menjadi tidak terelakkan, hal itu juga membuat pendidikan pesantren mulai berorientasi pada ijazah “. (‘Ala, 2006 : 5)

Pesantren dan Tradisi Kitab Kuning
Kata pesantren berasal dari kata santri mendapat awalan pe dan akhiran an yang menunjukkan makna tempat yaitu sebagai “ tempat para santri “. Banyak peneliti menyatakan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional “ asli Indonesia “ namun tentang asal mulanya terbagi dalam dua kelompok besar. Pertama, pesantren merupakan hasil kreasi bangsa setelah bersentuhan dengan budaya pra Islam (Hindu – Budha yaitu mandala dan asrama). Kedua, pesantren diadopsi dari lembaga pendidikan Islam Timur Tengah (riwaq di Al-Azhar).
Cikal bakal pendirian pesantren pada periode awal terdapat di daerah – daerah sepanjang pantai utara Jawa seperti Giri (Gresik), Ampel Denta Surabaya, Bonang (Tuban), Kudus, Lasem, Cirebon dan sebagainya. (Soebardi dalam Muhibuddin, 2005 : 9). Namun tampaknya pesantren pertama yang berdiri sebagaimana keadaan pesantren zaman sekarang adalah pesantren Tegalsari, Ponorogo. Hal ini misalnya pernah dikemukakan Martin Van Bruinessen. Menurutnya, sebelum pesantren Tegalsari belum ditemukan satu buktipun yang menyatakan adanya pondok pesantren lain yang berdiri dengan standar model pesantren Jawa seperti yang ada sekarang. (dalam El-Saha/Mujib, 2003 : 219). Zamakhsyari Dhofier (dalam Basri, 2001 : 120) menyatakan ada lima elemen utama pesantren yaitu pondok, masjid, pengajaran kitab-kitab Islam klasik, santri dan kyai.
Asrohah mengemukakan bahwa mulanya, pesantren menunjukkan suatu komunitas yang dinamis dan kosmopolit, karena berkembang di tengah-tengah masyarakat urban seperti Surabaya, Gresik, Tuban, Demak, Cirebon, Banten, Aceh, Makasar dan sebagainya. Dengan dikuasainya kota-kota perdagangan oleh Belanda membuat pesantren terdorong keluar dan masuk ke pedalaman yang menutup diri dari kehidupan duniawi. (Asrohah, 2001 : 184). Untuk saat ini dilihat dari proses tranformasi pesantren dibedakan menjadi tiga corak, yaitu, pertama, pesantren tradisional ; kedua, pesantren transisional ; dan ketiga, pesantren modern. (Basri, 2001 : 124)
Keberadaan pesantren saat ini telah mendapatkan legalitas formal sebagai lembaga pendidikan yang diakui pemerintah dengan adanya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional :

1. Pendidikan keagamaan di selenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang – undangan.
2. Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai – nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. ( Pasal 30 Ayat 1 & 2 Undang – undang RI Nomor 20 Tahun 2003 SISDIKNAS)

Istilah Kitab Kuning mulanya diperkenalkan oleh kalangan luar pesantren dengan nada merendahkan, tetapi kemudian diterima sebagai salah satu istilah teknis dalam studi kepesantrenan (Mochtar, 2001 : 36). Nama lainnya adalah Al-Kutub al-Qadimah (kitab-kitab klasik), Kitab Gundul dan Kitab Kuno. (Mochtar, 2001: 37). Mochtar menyatakan :

“ Sementara pengertian yang umum beredar di kalangan pemerhati masalah kepesantrenan adalah, bahwa KK merupakan kitab-kitab keagamaan berbahasa Arab atau berhuruf Arab, sebagai produk pemikiran ulama-ulama masa lampau (Al-Salaf) yang ditulis dengan format khas pra-modern, sebelum abad ke-17-an M ”. (Mochtar, 2001 : 36)

Tentang sejak kapan kitab kuning menjadi bahan ajar utama di pesantren, Affandi Mochtar menyatakan :
“ Sangatlah mungkin – sejauh bukti – bukti historis yang tersedia – dikatakan bahwa KK menjadi text books, references, dan kurikulum dalam sistem pendidikan pesantren, seperti yang kita kenal sekarang, adalah baru dimulai pada abad ke- 18 M. bahkan cukup realistik juga memperkirakan pengajaran KK secara massal dan permanen itu mulai terjadi pada pertengahan abad ke – 19 M, ketika sejumlah ulama Nusantara khususnya Jawa kembali dari program belajarnya di Makkah “. (Mochtar, 2001 : 39)

Metode pengajaran kitab kuning di pesantren dilakukan dengan sistem sorogan (individu) dan bandongan (masal). Dalam sistem sorogan seorang santri membaca kitab lengkap dengan maknanya di hadapan kyai, sedangkan kyai memberi makna dengan menulis (ngesahi) pada kitab milik santri tersebut. Sistem ini dikenal membutuhkan kesabaran, kesungguhan dan kedisiplinan yang tinggi. Sedangkan dalam sistem bandongan kyai membacakan kitab disertai mengartikan kata demi kata diselingi penjelasan sekedarnya, sedangkan santri menuliskan makna pada kitab. Karena dilaksanakan setelah waktu sholat, sistem bandongan biasa disebut juga sistim wetonan (dari kata waktu).
Cara baca Kitab Kuning yang sampai kini masih dibakukan di sebagian pesantren adalah cara membaca kitab dengan “ utawi iki iku “. Metode ini memang belum pernah diteliti siapa penciptanya dan sejak kapan dipakai. Yang jelas dari Jawa, mengingat bahasa bakunya menggunakan bahasa Jawa, dan metode semacam ini digunakan juga di pesantren – pesantren di luar Jawa ; Madura, Sunda, Kalimantan dan sebagainya.
Sistem “ utawi iki iku “ di samping menterjemahkan kata perkata juga sekalian menyebut tarkib (jabatan kata dalam kalimat)-nya, hebatnya penyebutan tarkib itu telah pula diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa sehingga dalam penggunaannya nampak sebagai bagian dari terjemahan kalimat. Simbul – simbul tarkib itu harus dibuang ketika rangkaian makna perkata disusun untuk terjemahan kalimat (murod). Utawi (mubtada’), iku (khabar), sopo dan opo (fa’il), ing (maf’ul bih), apane (tamyiz), kelawan (maf’ul mutlaq), rupane (badal) dan beberapa simbol tarkib lain hampir pasti terbuang saat menterjemah kalimat (murodi), sedangkan kang (sifat) dan hale (hal) sering ditetapkan.

Pembaharuan Pesantren dan Lunturnya Tradisi Kitab Kuning
Sampai 15 tahun pasca penegerian nuansa kitab kuning masih sangat kental di PP. Miftahul ‘Ula Nglawak, juga madrasah Aliyah dan Tsanawiyah. Hal ini disebabkan para santri senior yang saat penegerian madrasah juga diangkat sebagai guru PNS masih menggunakan Kitab Kuning sebagai materi pembelajaran utama untuk pelajaran – pelajaran bahasa Arab dan kelompok PAI (Pendidikan Agama Islam). Nuansa pesantren salaf yang masih dirasakan pada angkatan 1983 disampaikan oleh Asniyah (wawancara tanggal 20 Pebruari 2008) yang sekarang menjadi guru Al-Qur’an Hadits di MAN Nglawak : “Kyai Badri no lak ngulang ora gelem nguwasi cah wedok. Tapi lak karo aku no byuh-byuh uapal, gawene no nimbali”. ….Asniyah…..! “ pelajarane jik akeh nganggo kitab, lak fiqih opo kuwi…….Kifayatul Akhyar, haditse lak gak salah Riyadhus Sholihin “. (“ Kyai Badri jika mengajar tidak mau memandang anak perempuan. Tetapi dengan Saya tetap hafal, kebiasaannya (Beliau) memanggil “…………Asniyah….! “ pelajarannya masih banyak menggunakan kitab, untuk fiqih apa itu……. Kifayatul Akhyar, haditsnya jika tidak salah Riyadhus Sholihin “). Hal senada disampaikan oleh Zainal Abidin MB ( sekarang pimpinan grup musik), Hamim Tohari (sekarang pedagang) dan juga Dasuki ( petani ) ketiganya alumni angkatan 1981.
Para santri senior seperti KH. Ma’ruf Cholil (alm), KH. Badri Cholil (alm), KH. Syamsu Qodim (alm), K. Muslih, Ustadz Suwadi, K. Abdul Qodir dan lainnya di samping mengajar di madrasah negeri (Aliyah atau Tsnawiyah) juga mengadakan pengajian kitab di PP. Miftahul ‘Ula dan di kediaman masing-masing dengan peserta pengajian yang sebagian besar adalah juga para siswa madrasah Aliyah dan Tsanawiyah. Kala itu adalah hal yang lazim para siswa yang nduduk mengikuti pengajian kitab dengan mendatangi para guru di kediamannya. Para santri senior rata-rata memang menjadi kyai di masyarakatnya.
Seiring perjalanan waktu, kajian kitab kuning di PP. Miftahul ‘Ula maupun unit-unit lembaga pendidikan dalam naungannya semakin menyurut. Pelan tapi pasti metamorfosis “ Pesantren – Madrasah – Sekolah “ seperti dinyatakan Steenbrink tampaknya terjadi di tubuh PP. Miftahul ‘Ula dan tentunya juga terjadi di banyak pesantren lain. Steenbrink menyatakan :

“ Dengan uraian tersebut diatas, kita melihat adanya suatu usaha untuk mengubah system pendidikan di Indonesia sebagaimana tampak adanya perkembangan baru dari sistem pesantren ke madrasah, perkembangan dari metode yang tradisional ke pendidikan klasikal. Meskipun sering diucapkan bahwa hal tersebut merupakan perwujudan dari usaha konfergensi dan sintesa di bidang pendidikan di mana madrasah diberikan kedudukan sebagai lembaga yang memenuhi perimbangan antara pendidikan Timur dan Barat, pesantren dan sekolah, pelajaran sekuler dan agama, namun sejauh itu kesan yang muncul bahwa hasil dari perimbangan ini makin lama makin mengarah pada model sekolah, sebagai model pendidikan umum yang akan diberlakukan di seluruh Indonesia” . (Steenbrink , 1994 : 102)

Sebagian yang menyebabkan menurunnya kualitas kajian Kitab Kuning di PP. Miftahul ‘Ula adalah masuknya guru-guru baru yang tidak berlatar belakang pesantren salaf. Ini terjadi misalnya pada waktu santri senior telah pensiun atau meninggal dunia dan digantikan dengan guru lain atau karena mendapatkan jatah guru negeri dari Departemen Agama. Bagaimana pergantian guru berpengaruh pada penguasaan kitab kuning bagi siswa diceritakan oleh Hamim Tohari (wawancara tanggal 17 Pebruari 2008) alumni MAN Nglawak tahun 1981 :

“ Kelas setunggal Tsanawiyah, kulo belajar Maqsud kaleh Imrithi, sing ngucal pak Muslih, kelas kaleh lan kelas tigo Tsanawiyah belajar Alfiyah sing ngucal pak Jabir utawi pak Syamsu Qodim, bareng aliyah kelas setunggal ingkang ngucal pak Nursayid saking Gontor kitabe Nahwul Wadhih. Pak Jabir mentingne Nahwu Sharaf ngantos mendalam, pak Nursayid mentingne muhadatsah “.
(“ Kelas satu Tsanawiyah, saya belajar (kitab) Maqsud dan Imrithi, yang mengajar pak Muslih, kelas dua dan kelas tiga Tsanawiyah belajar (kitab) Alfiyah yang mengajar pak Jabir atau pak Syamsu Qodim, Ketika Aliyah kelas satu yang mengajar pak Nursayid (alumni) dari Gontor kitabnya Nahwul Wadhih. Pak Jabir mementingkan Nahwu Sharaf sampai mendalam, (sementara) pak Nursayid mementingkan Muhadatsah “).

Belakangan karena mementingkan kualifikasi formal banyak guru PAI maupun bahasa Arab adalah sarjana Tarbiyah non pesantren salaf yang tentu saja berkemampuan pas-pasan dalam telaah Kitab Kuning, walaupun tidak diragukan kualitas keilmuannya. Begitu pula buku pegangan guru dan siswa untuk pelajaran-pelajaran bahasa Arab dan PAI semua telah menggunakan buku standar kurikulum Departemen Agama dan LKS (lembar Kerja Siswa) sebagai penunjang.
Untuk MAN Nglawak, saat ini hanya tinggal muatan lokal (MULOK) “ Qiro’atul Kutub “ yang masih menyisakan nuansa Kitab Kuning. Dengan alokasi waktu 1 jam perminggu pembelajaran Qiro’atul Kutub yang saat ini dibimbing Ustadz Abdul Wahab (Gus Adung) berusaha melestarikan tradisi Kitab Kuning lengkap dengan metode pembelajaran ” utawi iki iku “. Agak lucu memang bahwa di antara para siswa yang ngesahi kitab Taisirul Khalaq yang sedang dibacakan lengkap dengan makna perlafadznya, terdapat beberapa siswa yang memberi makna dengan huruf latin. “ Dari SMP pak…… !”, begitu rata-rata jawabnya ketika ditanya mengapa tidak memberi makna dengan tulisan arab pegon seperti pada umumnya.
Beberapa faktor yang berperan dalam lunturnya tradisi Kitab Kuning di PP. Miftahul ‘Ula Nglawak adalah :
1. Penggantian pengajar dengan guru yang berlatar belakang non pesantren salaf.
2. Penyesuaian terhadap kurikulum.
3. Berpindahnya lokasi madrasah menjauh dari pesantren Induk.
4. Semakin beragamnya input siswa.
5. Pengejaran target UAN.
Standar kelulusan yang setiap tahun bertambah menjadikan pertimbangan bagi pondok untuk tidak memberlakukan disiplin ketat bagi keikutsertaan santri dalam pengajian-pengajian yang diprogramkan. Baik pengajian dalam bentuk madrasah diniyah maupun pengajian bandongan. Salah satu guru madrasah diniyah Ustadz Munawirul Aini (wawancara 11 April 2008) mengeluhkan ketidak sungguhan santri mengikuti pelajarannya.“ Lha dos pundi to pak ! lare kon moco terose dereng nulis…………, mosok lare sak kelas diulang sing mboten tilem muk telu, pancen nggih ngebotne sekolahe “. ( “ Lha bagaimana to pak!, anak disuruh membaca katanya belum menulis………, masak anak satu kelas diajar yang tidak tidur hanya tiga, memang ya mementingkan sekolahnya (meremehkan ngaji) “).
Dibutuhkan metode pengajaran kitab kuning yang menarik dari seorang ustadz bila ingin memperoleh respon antusias dari para santri sekarang ini. Hampir tak akan menghasilkan apa-apa jika seorang ustadz hanya membacakan kitab dan memberi makna seperti dalam tradisi bandongan konvensional. Karena toh kitab-kitab para santri umumnya tak akan dimathla’ah ulang pasca mengaji, disebabkan dengan kesibukan belajar pelajaran sekolah atau karena memang tidak mampu akibat penguasaan yang jauh dari memadai terhadap Nahwu dan Sharaf.
Seorang ustadz yang kajian kitabnya banyak digemari para santri mengemukakan beberapa kiat untuk menarik respon santri :

“ Alhamdulillah untuk pengajian yang saya laksanakan respon para santri terbilang bagus, hal ini bisa dilihat dari banyaknya peserta yang mengikuti maupun antusiasme yang mereka perlihatkan. Beberapa hal yang saya laksanakan dalam hal ini adalah :
1. Memperbanyak penjelasan. Dengan demikian saya sering mengaji kitab-kitab kecil.
2. Membuat joke-joke segar dan lucu, banyak bercerita tentang kisah-kisah yang relevan dengan pokok bahasan.
3. Memberi penjelasan ilmiyah terhadap materi yang dibahas. Di samping tentunya penjelasan baku.
4. Selalu mengaitkan dengan konteks kekinian dari masalah yang dibicarakan.
Saya berpedoman pada kaidah fiqhiyah “ Maa laa yudroku kulluhu laa yutroku kulluhu “, sesuatu yang tidak bisa didapatkan semua jangan ditinggalkan semua. Saya berpikir tak apalah anak-anak tidak mathla’ah kitab yang saya kaji, tapi setidaknya sekian persen dari kandungan kitab tersebut dapat mereka pahami “ (wawancara, 11 April 2008).

Penutup
Sama dengan eksistensi Islam di Jawa yang unik, keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua dan indigenous Indonesia juga penuh keunikan. Tak heran Belanda sering salah strategi dalam menghadapi Islam di Jawa seperti dalam perang Diponegoro (1825-1830), Belanda tak akan mengira bahwa pada akhirnya orang Belanda yang meninggal dalam peperangan adalah 8000 orang dan menghabiskan uang 20 juta rupiah (Purwadi dan Kawuryan, 2005 : 191), begitu pula politik Islam dan politik pendidikan menomorsatukan anak – anak pejabat dan membatasi pribumi justru menggiring putra pribumi pergi ke pondok-pondok pesantren. Proses ini justru menambah kuatnya kepercayaan beragama pribumi muslim (Ridjaluddin, 2001 : 76) .
Salah satu keunikan pesantren adalah penggunaan Kitab Kuning sebagai materi utama pengajaran. Bagi pengkritik pesantren penggunaan hasil karya ulama abad pertengahan di zaman kini tentu suatu hal yang dipandang negatif. Belum lagi sistem pembacaan kitab “utawi iki iku” yang dipandang tidak praktis dan sangat membuang waktu. Sedangkan bagi pemerhati masalah-masalah kepesantrenan tradisi Kitab Kuning justru merupakan khazanah intelektual yang perlu dilestarikan karena begitu kaya rujukan dan referensi yang tentunya sangat dibutuhkan untuk menjawab permasalahan yang terjadi saat ini. Kekayaan pesantren dengan khazanah klasik pernah disinggung oleh Nurcholish Madjid (dalam Tobroni dan Arifin, 1994 : 79), perihal perbandingan antara Muhammadiyah dan NU (= pesantren besar). Muhammadiyah dapat dianggap sebagai katalog, sedangkan NU lebih tepat dikatakan buku atau kitabnya. Artinya Muhammadiyah lebih kaya secara metodologis sedangkan NU lebih kokoh dengan materi atau penguasaan khazanah klasik.
Tentu saja perlu dipikirkan terobosan untuk meminimalisir hal negatif yang tentunya ada dalam tradisi Kitab Kuning sebagai mana produk budaya lainnya. Dan yang tak kalah penting adalah terobosan untuk mengatasi gejala melunturnya tradisi Kitab Kuning di banyak pasantren akhir – akhir ini.

Daftar Pustaka
Asrohah, Hanun, 2001, “ Sejarah Pendidikan Islam “, Cetakan II, Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, Jakarta.
A’la, Abd, 2006, “ Pembaharuan Pesantren “, Cetakan I , Yogjakarta, Pustaka Pesantren.
Basri, Hasan, 2001, “ Pesantren : Karakteristik Dan Unsur-unsur Kelembagaan”, dalam Abuddin Nata (Ed.) 2001, Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Grasindo, Jakarta.
El – Saha, M. Ishom/Mujib, Ahmad, 2003, “ Syekh Kiai Agung Muhammad Besari “ dalam Mastuki, Ishom El-Saha (Ed.) 2003, Intelektualisme Pesantren Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, Diva Pustaka, Jakarta.
Haedari, Amin, 2006, “ Mengembangkan Pendidikan Pesantren Berbasis Tradisi “ dalam Mihrab IV (2) : 46 – 49, Jakarta.
Mochtar, Affandi, 2001, “ Membedah Diskursus Pendidikan Islam “, Cetakan I, Jakarta, Kalimah.
Muhibuddin, 2005, “ Pasang Surut Pesantren Di Panggung Sejarah “ , Dalam Mozaik Pesantren I (02) : 7 – 12, Jakarta.
Purwadi dan Kawuryan, Megandaru, 2005, “ Sejarah Perjuangan Pangeran Diponegoro “, Cetakan I, Tunas Harapan, Jogjakarta
Ridjaluddin, 2001, “ Surau dan Modernisasi Pendidikan di Masa Hindia Belanda “, dalam Abuddin Nata (Ed.) 2001, Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Grasindo, Jakarta.
Steenbrink, Karel A., 1994, “ Pesantren Madrasah Sekolah “, Cetakan II, Yogya karta, PN. LP3ES.
Tobroni dan Arifin, Syamsul, 1994, “ Islam Pluralisme Budaya dan Politik Refleksi Teologi Untuk Aksi Dalam Keberagamaan dan Pendidikan “, Sipress, Yogyakarta.
0 Komentar untuk "Pembaharuan Pesantren"

Jazakumullahu Khairan Katsiran ya Akhi wa Ukhti Ajma'in . . . . . !!!

Back To Top