Istilah
“Masyarakat Madani” sejak beberapa lama ini diucapkan oleh semua orang, dari
Presiden sampai Ketua RT, dari veteran sampai ABG, dari sarjana sampai tukang
becak. Itu persis sebagaimana kaum terpelajar dulu membohongi rakyat dengan
istilah “Tinggal Landas”, “Era Globalisasi” dan lain-lain, yang ditahayulkan
dan menguap di angkasa waktu.
Masyarakat Madani bersumber dari Masyarakat Maddaniyah (baca: dengan demikian
bukan Masyarakat Masihiyah) yang dibangun oleh Rasulullah Muhammad saw. sesudah
beliau dengan pengikutnya berhijrah dari Mekah untuk bertempat tinggal di Madinah. Ketika itu belum ada
“state” dengan konstitusinya, sehingga kedatangan masyarakat penghijrah yang
disebut Kaum Muhajirin tidak mengalami resiko konstitusional ketika kemudian
harus memasuki “negara” lain dan hidup bersama tuan rumahnya yang disebut Kaum
Anshor. Sekurang-kurang nya ada tiga substansi clan peristiwa Hijrah itu.
Pertama, momentum hijrah itulah yang dipakai untuk
menandai satuan waktu, awal tahun dan abad Islam, “Ilmu”nya di sini terletak
pada kenyataan bahwa bukan hari atau tahun kelahiran Muhammad saw. yang dipakai
sebagai patokan awal abad Islam, sebab fokus ajaran Islam tidak pada Muhammad,
melainkan pada ajaran Allah yang dititipkan melalui ia. Islam tidak bersikap
feodal dan veded-interest dengan
memonumenkan Muhammad sebagai manusia, karena yang terpenting adalah kasih sayang Allah yang dibawanya untuk seluruh
ummat manusia. Muhammad bukan founding father of Islam. Agama tidak didirikan oleh
Nabi, Rasul atau manusia. Agama bukan bikinan atau ciptaan yang selain Allah.
Otoritas atas kehidupan manusia seratus persen berada di tangan Allah, dan para
Nabi hanya menyampaikannya. Bagi tradisi sifat Allah, Nabi dan Rasul boleh
tidak ada. Allah berhak tidak menciptakan Muhammad, tidak memilihnya sebagai
kekasih, atau melakukan apapun. Jadi, sekali lagi, yang penting adalah
“hijrah”nya, bukan “Muhammad”nya — meskipun karena etika historis dan logika
cinta: Muhammad kita sayangi sesayang-sayangnya sebagaimana Allah menyayanginya
melebihi sayangNya kepada apapun dan siapapun saja.
Kedua, hijrah sebagai
acuan pokok ilmu, ajaran dan cinta kasih Islam. Anda jualan bakso itu
menghijrahkan bakso ke pembeli dan si pembeli menghijrahkan uang kepada Anda.
Anda buang air besar itu menghijrahkan sampah biologis ke lubangWC. Anda nikah dan bikin anak
itu menghijrahkan sperma ke ovum istri. Anda juga menghijrahkan Suharto ke
rumahnya, menghijrahkan Habibie ke Binagraha dan seterusnya. Anda menghijrahkan
uang Anda ke brangkas bank. Anda menghijrahkan diri
Anda ke rumah Allah. Hidup adalah hijrah dariNya menuju keharibaanNya. Hidup
hanya berlangsung dalam konsep dan mekanisme hijrah. Tidak ada benda, makhluk,
peristiwa atau apapun saja dalam kehidupan ini yang tidak berhijrah.
Yang menjadi masalah
dan pilihan manusia adalah pengakuan dari mana ia berhijrah, ke mana ia sedang
dan akan menghijrahkan dirinya, dengan cara apa ia melakukan hijrah. Anda
menghijrahkan uang dari kas kantor ke kas keluarga: pertanyaannya terletak pada
bagaimana konteks dan nilai (akidah, akhlak, hukum) hijrahnya uang itu. Yang
disebut Era Reformasi, jatuhnya Suharto, kerusuhan Ambon, pekikan Aceh, kasus
Bank Bali, tempe-delenya perilaku politisi, sidang MPR dan apapun
— diikat oleh bagaimana nilai seseorang menghijrahkan dirinya, aspirasinya,
political will-nya. Di situ terdapat langit nilai baik buruk, benar salah,
indah dan jorok; serta terdapat acuan formal: legal atau illegal, sah atau
tidak sah, halal atau makruh atau haram atau malah wajib, dan seterusnya.
Menjadi jelas bahwa
empasis nilai Islam tidak pada Muhammad, melainkan pada nilai Hijrah. Muhammad
wajib patuh kepada nilai hijrah, terikat untuk menjadiuswatun hasanah atau
teladan, dan tidak boleh melanggar kasih sayang Allah yang sudah la rumuskan
dalam AI-Qur’an, serta yang juga dicipratkan melalui subbah-nyaatas Muhammad sendiri.
Ketiga, metodologi
dan strategi hijrah. Yang dilakukan pertama-tama oleh Rasulullah saw. begitu
tiba di Madinah adalah mempersaudarakan Kaum Muhajirin dengan Kaum Anshor.
“Mempersaudarakan” ini sangat luas maknanya: mempersaudarakan dalam konteks
transaksi kultural, sosiologis, politis dan lain sebagainya. Negara Indonesia kecolongan kerusuhan di Ambon, Timor
Timur dan Aceh dan lain-lain. Karena konsep persaudaraan mereka tidak digali,
diterjemahkan dan dirumuskan ke dalam konsep nasionalisme, persatuan dan
kesatuan yang jelas. Ketidakjelasan konsep itu membuahkan ketidakmenentuan
komunikasi, etika pergaulan antar kelompok, kecurangan politik, dan menjadi
lebih parah lagi karena kepemimpinan ilmu kenegaraan Indonesia tidak bersedia
mensyukuri ilmu dan ajaran Allah yang mendialektikakan konteks-konteks
horisontal dengan vertikal. Kalau tidak karena perlindungan dan kasih sayang
Allah kepada rakyat kecil, negara Indonesia tidak akan sanggup menyelamatkan
dirinya sendiri.
Akan tetapi sangat
tidak mengagetkan kalau Indonesia tidak kunjung berhenti “cengengesan” alias main-main. Artinya, tidak
bersikap serius terhadap dirinya sendiri, terhadap pilihan nilainya sendiri,
bahkan juga tidak serius terhadap pilihan ideologi dan partai politiknya
sendiri. Gus Dur menjadi Presiden bukanlah hasil wajar dari Pemilu yang gegap
gempita. Warga parpol-parpol bertengkar satu sama lain, bahkan sampai
bakar-bakaran dan bunuh-bunuhan, juga antar sesama warga parpol Islam. Tetapi
ketika memilih presiden, pada jam-jam terakhir: tak ada lagi PPP, PKB, atau
apapun. Semua tidak berpikir konstitusional, melainkan pragmatis: “Sudahlah,
supaya tidak bentrok, kita orang Islam bersatu saja milih Gus Dur”. Dari sudut husnudh-dhon, itu bagus: orang Islam mau bersatu asal
kepepet. Tapi kenapa nggak dulu-dulu? Kenapa ketika tiga tahun yang lalu. saya
anjurkan bikin Partai Islam Nasional mereka marah-marah? Kalau toh di
ujung-ujungnya mereka berpikir secara partai Islam juga, sesudah pengorbanan
Pemilu yang begitu banyak? Juga, ingat: untuk apa Pak Amin Rais mengutuk-ngutuk
Golkar sebagai partai mampus dan lain-lain. Kalau pada akhirnya ia menjadi
Ketua MPR atas dukungan suara Golkar? Sekarang ini MPR kita reformis atau status quo? DPR
kita reformis atau status quo? Kabinet kita reformis atau status quo?
Dan contoh paling aktual lainnya
yang menjadi tema kita kali ini adalah overlappingkonsep
Masyarakat Madani di satu pihak dengan pemahaman Millenium-III di lain pihak.
Masyarakat Madani bukan hanya
secara teknis waktu dimulai pada momentum hijrahnya Rasulullah saw, tapi juga
substansi nilai yang dibawanya sangat berbeda dengan Masyarakat Masehi.
Pandangan hidupnya berbeda, jam kerjanya berbeda, konsep budayanya berbeda,
aspirasi politiknya berbeda, konsumsi seninya berbeda, hati dan akalnya
berbeda. Artinya bukan sekedar pengikut konsep Masyarakat Madani kini baru
berada di pertengahan Millenium-II, dan masih sekitar 10 generasi lagi baru
akan memasuki Millenium-III — tapi juga secara ideologis Masyarakat Madani
memperjuangkan nilai yang sama sekali berbeda dengan kenyataan Peradaban Masehi
yang sekarang sedang berlangsung.
Tapi karena kita memang
“cengengesan”, kita bisa menegakkan bendera Masyarakat Madani sekaligus
menyanyi-nyanyikan tahayul Millenium-III.